Setelah saya makin dewasa dan disebut senior ini, maaf saya menghindari sebutan “tua”. Saya menyadari manfaat mempunyai banyak kenangan. Dengan memiliki kenangan, saya menyadari telah melalui perjalanan panjang kehidupan, telah melewati sekian banyak peristiwa yang kemudian mengendap dalam “alam bawah sadar” saya.
Perkara sekian banyak kenangan itu kemudian menjadi hikmah atau pelajaran berharga itu soal lain. Tapi dari kenangan itu kadang sering membuat saya tertawa sendiri, merasa melow sendiri, merasa bangga sendiri…Beberapa sesepuh yang saya temui bahkan menceritakan kenangan masa mudanya dulu sampai puluhan kali dengan kisah yang sama, diksi yang sama, ekspresi kegembiraan yang sama. Apakah anda juga demikian ? Sama kalau begitu.
Kenangan yang sangat lekat dalam pikiran saya sampai sekarang adalah desa Grabag, di kota kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah beserta dinamika kehidupan sehari hari warganya. Walaupun saya dilahirkan di Surabaya, namun ibu saya lahir di desa ini. Ibu saya putri bungsu dari 4 saudara yg semuanya perempuan.
Saya masih ingat wajah almarhum Mbah Joyo kakung putri dan ketiga bude saya yang sudah wafat. Saat Mbah Kakung dipanggil olehNya dan saya, waktu itu belum sunat, ikut menunggui saat terakhir beliau bersama ibu. Saya melihat ibu menangis dan bingung karena sampai siang hari Mas Sarwono, putra bude yang tinggal di Jakarta, belum juga datang. Waktu itu jangankan hape, tilpun biasa aja tak ada satupun penduduk desa yang punya. Telegram adalah satu satunya sarana untuk mengirim kabar secara cepat.
Juga pohon sirsak (penduduk setempat menamai Nongkosabrang) di depan rumah Mbah Joyo, bilik kecil tempat saya tidur bersama ibu. Jika malam hari sering tidak bisa tidur karena takut, suasana yang gelap sekali, dan segala suara di luar sepertinya terdengar dari dalam bilik. Maklum rumah Mbah Joyo seluruhnya terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan atap rumah dari damen (anyaman daun kelapa kering yang sudah diikat sedemikian rupa). Menunggu pagi tiba rasanya lama sekali. Tapi toh akhirnya tertidur juga….
Setiap lebaran tiba, ibu bapak mengajak saya mudik di Kutoarjo. Belum ada kereta api yang langsung berhenti di stasiun Kutoarjo seperti sekarang. Biasanya turun di stasiun Yogyakarta kemudian ganti kereta molen atau “sepur kluthuk” dan turun di stasiun Kutoarjo, kemudian disambung naik Dokar (kereta kuda) dengan waktu tempuh hampir dua jam. Perjalanan yang melelahkan namun sangat menggembirakan. Maka saya selalu menanti saat lebaran tiba agar bisa berlibur di desa. Sangat menyenangkan bertemu dengan mas Pandi, Lik Yono, Mbah Parto, Mbah Mangku, bulik Darsih dan para sedulur lain yang sangat semanak. Apalagi bermain pasir dan menikmati lontong kupat yang nikmat di Segoro Kidul. Tiap pagi saya ke pasar Grabag untuk membeli mainan wayang yang terbuat dari kardus, lalu saya mainkan di rumah Mbah Joyo. Sejak kecil saya sangat suka nonton wayang dan sempat bercita cita jadi Dalang.
Begitulah…saya bahagia mempunyai kenangan manis, diantara banyak kenangan yang saya alami. Tidak semua kenangan baik dan manis. Ada kenangan buruk, bahkan sangat buruk. Tapi saya tidak menyesal mempunyai kenangan buruk, sebab dari kenangan buruk menjadi pelajaran agar menjadi baik.
Saya menyadari juga, agar mempunyai banyak kenangan maka diperlukan banyak interaksi langsung secara tatap muka. Inilah yang disebut silaturahim dalam ajaran agama Islam. Dengan memperbanyak interaksi langsung, kedekatan personal akan mudah didapatkan. Salah persepsi dan kesalah pahaman terhadap pandangan dan sikap seseorang akan bisa diminimalisir. Sebab saya langsung tahu bagaimana reaksi seseorang terhadap ucapan atau sikap saya saat melakukan interaksi. Ada aksi-reaksi. Semakin banyak melakukan silaturahim, semakin luas pemahaman tentang aksi-reaksi. Misal, jika kita bertutur kata kurang sopan terhadap seseorang, maka balasan atau reaksi yang kita terima juga akan sama.
Dengan melakukan banyak silaturahim, bertatap muka secara langsung, maka kenangan yang didapatkan lebih dalam tersimpan di “alam bawah sadar” (atau dalam pandangan spiritual Jawa disebut “jagat kecil” yang ada di dalam setiap jiwa manusia) dibanding interaksi melalui media, baik WA maupun tilpun. Semakin banyak memori yang tersimpan di “alam bawah sadar”, baik dari bacaan, pergaulan, pendengaran, penglihatan dan sebagainya, akan sangat membantu dalam melakukan berbagai pekerjaan, khususnya menulis. Sebab di dalam jagat kecil itu pada hakekatnya merupakan big data yang sewaktu-waktu bisa diunggah kembali sesuai kebutuhan. Seperti menata ulang jutaan puzle-puzle memori menjadi satu konstruksi hasil karya manusia, baik berupa tulisan maupun gagasan.
Nah sekarang tergantung memori jenis apa yang ingin anda simpan di dalam “alam bawah sadar” anda dan seberapa besar volume memori yang sudah anda simpan. Jika lebih banyak berupa memori umpatan, iri dengki, bacaan selera rendah, kemarahan, dan sebagainya. Maka hasil karya yang anda hasilkan adalah tidak jauh-jauh dari memori anda. Demikian juga sebaliknya. Jika yang anda simpan adalah memori yang baik, penuh adab dan sopan santun, kerendahan hati, bacaan yang bermutu, dan sebagainya maka hasil karya yang anda hasilkan juga selaras dengan memori yang anda simpan. Salam… (sas)
1 Komentar
Wah keren ini…