Surabaya (prapanca.id) – Industri periklanan terus berkembang, seiring maraknya produk media yang sangat beragam. Baik dalam bentuk media cetak, elektronik, atau media online. Itu sebabnya, kata Dr. Dwi Prasetyo, S.Sos., M.PSDM., pakar komunikasi Stikosa AWS, industri iklan diakui atau tidak, keberadaannya memberi kontribusi hebat dalam menghidupi industri media itu sendiri.
Sayang, kata Dwi, tak semua pelaku industri periklanan cukup paham bahwa iklan sejatinya bukan hanya tentang gambar dan suara yang menarik. Di baliknya terdapat teori-teori psikologi dan budaya yang dirancang untuk memengaruhi pikiran dan perilaku kita.
“Iklan memanfaatkan pemahaman tentang keinginan dan kebutuhan manusia untuk menciptakan pesan yang menggoda. Contohnya, iklan parfum menggunakan model yang tampan dan menarik untuk membangkitkan keinginan untuk menjadi seperti mereka. Ini yang disebut psikologi konsumen,” terangnya.
Hal mendasar lain, lanjut dia, adalah persepsi terhadap merek. Dikatakan, iklan tidak hanya menjual produk, tetapi juga makna budaya yang melekat padanya.
“Konsumen membeli produk beserta nilai-nilai yang diwakilinya. Iklan mobil SUV, misalnya, sering menampilkan kesan petualangan dan kebebasan. Konsumen yang membeli mobil tersebut mungkin ingin menunjukkan jiwa petualang mereka,” terangnya.
Di era globalisasi, kata Dwi, iklan harus beradaptasi dengan budaya di berbagai negara. Iklan yang sukses di satu negara mungkin tidak efektif di negara lain. Contohnya, humor slapstick yang lucu di negara Barat mungkin dianggap kasar di negara lain.
“Ada banyak teori yang menjelaskan bagaimana iklan bekerja, antara lain teori pembelajaran, dimana iklan membantu konsumen mengenal dan mengingat merek tertentu. Lalu teori emosi, dimana iklan memunculkan emosi tertentu, seperti kebahagiaan, ketakutan, atau nostalgia, untuk mendorong pembelian,” jelasnya.
Di luar itu, ada juga teori budaya populer. Dimana iklan mencerminkan nilai-nilai dan gaya hidup masyarakat tertentu. Dan terakhir, iklan adalah perpaduan antara psikologi, budaya, dan strategi.
“Memahami teori di baliknya membantu kita menjadi konsumen yang cerdas dan tidak mudah terpengaruh,” tegasnya. (sas)