Surabaya (prapanca.id) – Walaupun sudah digelar di kampus Stikosa AWS, pada Selasa (23/7/2024) malam lalu, gaung acara majelis ilmu Bang Bang Wetan yang menghadirkan Mas Sabrang Neo Letto, masih tetap terasa.
Saat itu sekitar seribu orang lebih memadati halaman kampus Stikosa AWS, bahkan meluber hingga ke pendopo. Mereka duduk lesehan dengan tertib.
Mayoritas adalah anak muda, yang datang dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya dan sekitarnya. Pusat perhatian adalah panggung kecil, yang ditata artistik, tempat para narasumber melontarkan pikiran-pikiran bernasnya. Hingga pengajian maiyah ini berakhir, pukul 00.15, tak satupun pengunjung meninggalkan tempat acara.
Di atas panggung berjajar Sabrang Mowo Damar Panuluh dari pengajian Maiyah, Jokhanan Kristiyono, Ketua Stikosa AWS, Imawan Mashuri, Ketua Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur (YPWJT), Dr Sukowidodo, Direktur Pengembangan & Kerjasama Stikosa AWS, dan Prof Darmaji, dosen Matematika ITS.
Penampilan Cak Robert Bayonet dan Cak Ipul dari The Luntas, ludruk nom-noman arek Surabaya sebagai selingan acara, mampu menyegarkan suasana. Acara dibuka dengan nderes atau membaca Al Qur’an dan shalawatan oleh remaja masjid A. Azis, yang berada di komplek kampus Stikosa AWS.
Yang menarik dari pokok pikiran putra budayawan & pendakwah Emha Ainun Najib ini adalah kesadaran subconscious collective, berdasarkan teori Carl Gustav Jung (psikolog asal Swiss, yang merintis dan mengembangkan konsep psikologi analitik atau psikoanalisis). Yakni kesadaran kolektif pondasi identitas.
Menurut Sabrang, pondasi identitas utama adalah kita manusia. Dalam ajaran Islam, identitas utama adalah kita abdi atau hamba Allah dan menjadi khalifah di bumi ini, bukan anak siapa atau kelompok mana. Jika sudah mempunyai kesadaran pondasi identitas, maka tidak mungkin akan merusak alam atau merusak keadaan. Sebab tahu persis bahwa ilmu yang kita dapatkan digunakan untuk membela manusia dan alam semesta.
“Tumbuhnya manusia berdasarkan pondasinya. Seperti tumbuhnya bangunan pasti ikut pondasinya. Jika pondasinya baik, kita akan membuat bangunan itu menjadi lebih baik. Demikian juga manusia” ujar pendiri dan vokalis Grup musik Letto ini.
Bagi Jokhanan Kristiyono, acara pengajian Maiyah ini semacam ruang sinau bareng. Menurut Jokhanan, ruang belajar tidak hanya tersekat di kelas kelas. Ia menyarankan, seharusnya para akademisi turun ke masyarakat, mengimplementasikan apa yang dipelajari di ruang akademik supaya bermanfaat di masyarakat.
Hal senada juga diungkap Sukowidodo yang malam itu bertindak sebagai pemandu acara. Menurut dosen Ilmu Komunikasi Unair ini, ada cara baru di komunikasi dalam melihat public space karena yang muda tidak mau kalah dengan yang tua, serta yang tua mau tidak mau harus mau menyesuaikan.
Media televisi yang selama ini menjadi public space saat ini kurang diminati anak muda, sebab gadget sudah menggeser media televisi dalam mengakses informasi dan komunikasi. Maka public space bisa menjadi alternatif sinau bareng dalam menanamkan ilmu dan norma pada generasi muda.
Menurut Imawan Mashuri fasilitas ruang publik untuk masyarakat berekspresi masih sangat terbatas. Balai Pemuda Surabaya yang dulu digunakan secara rutin oleh majelis ilmu Bang Bang Wetan untuk diskusi keilmuan dari hati ke hati, saat ini sudah tidak mungkin bisa digunakan lagi. Oleh karena itu ia berharap Stikosa AWS bisa menjadi alternatif public space untuk sinau bareng.
Beberapa personel Bang Bang Wetan menyebut, event di kampus Stikosa AWS ini merupakan yang terbanyak dari sisi pengunjung, dibanding dengan event-event sebelumnya di beberapa kampus. Bahkan ada selentingan, akan menggelar event selanjutnya di kampus komunikasi tertua di Indonesia Timur itu. Kapan, kita tunggu saja. (sas)