Surabaya (prapanca.id) – Bangunan tinggi yang ujungnya seperti tanduk kerbau itu mudah dijangkau pandangan mata. Jika menuju ke arah Waru, Sidoarjo, baik melalui jalan tol maupun jalan raya biasa, akan terlihat bangunan berwarna coklat yang sangat khas. Dulu, sebelum dibangun Masjid Agung Surabaya, keberadaan bangunan khas tersebut sering menjadi ancer-ancer di jalan tol, bahwa perjalanan sudah sampai di Surabaya.
Itulah rumahgadang, rumah adat Minangkabau yang ada di Surabaya. Letaknya di Jalan Gayung Kebunsari 64 Surabaya. Keberadaan rumahgadang ini melengkapi ciri khas kota Surabaya sebagai kota multi etnis yang dihuni oleh berbagai suku bangsa sejak berabad silam.
Sebagai peninggalan budaya Nusantara, rumah adat Minangkabau ini bentuknya memang khas. Cirinya yang menonjol adalah model atapnya. Berbentuk gonjong, menyerupai tanduk kerbau. Bangunannya terbuat dari kayu tahan lama dan kuat. Atapnya dari ijuk, yaitu serat dari pohon enau atau aren.
Rumahgadang utama yang disebut sebagai Istana, ada di Pagaruyung, Batusangkar, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat. Rumahgadang lainnya, jumlahnya ribuan. Ada di tiap nagari dan kampung. Dari ukuran kecil sampai besar. Difungsikan sebagai rumah tinggal keluarga, gedung pertemuan dan museum. Rumahgadang di Surabaya adalah salah satu dari rumahgadang di luar wilayah budaya Minangkabau di propinsi Sumatera Barat. Rumahgadang lainnya bisa ditemukan di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Juga ada satu atau dua di Riau, Jambi dan Bengkulu, serta cukup banyak di Negeri Sembilan Malaysia.
Namun bangunan di Surabaya itu mempunyai dua keunikan yang tidak terdapat di kota lain. Hal ini diungkap oleh HM Yousri Nur Raja Agam, wartawan Senior dan Ketua Umum Yayasan Gebu Minang Jatim, yang antara lain membawahi pengelolaan rumah adat Minang tersebut.
Keunikan pertama, pembangunan rumahgadang itu diawali dengan kata kunci “seribu rupiah”, melibatkan gotong royong mayoritas perantau asal Minang yang berada di Surabaya, Jakarta dan kota lainnya. Menurut cerita tokoh wartawan Jawa Timur tersebut, rencana semula sebenarnya membangun gedung pertemuan, tercetus saat acara halal bihalal masyarakat perantau asal Minang yang ada di Jawa Timur pada tahun 1985. Acara “Baralek Gadang” atau pesta besar ini menghadirkan artis-artis dan tokoh masyarakat Minang dari Jakarta. Untuk mengumpulkan dana pembangunan gedung pertemuan, dilakukan dengan cara mencetak kupon senilai seribu rupiah per lembar. Dalam satu bendel, berisi 100 lembar dengan nilai Seratus Ribu Rupiah per bendel.
Di luar dugaan, sambutan masyarakat perantau asal Minang sangat luar biasa. Dalam waktu relatif singkat, kupon sumbangan bernilai Seribu Rupiah per lembar itu cepat habis, dan terkumpul Rp 225 juta lebih di tahun 1986. Rencana semula membangun gedung pertemuan itu akhirnya ditingkatkan dengan membangun rumahgadang di Surabaya. Gayung bersambut, keluarga Rahman Tamin, pemilik tanah seluas 3.500 meter persegi di Jl. Gayung Kebunsari itu bersedia menjual tanahnya dengan harga relatif murah. Rahman Tamin adalah pemilik pabrik tekstil PT.Raratex (Rahman Tamin Textil) di Balongbendo, Sidoarjo.
Setelah tanahnya tersedia maka dimulailah pembangunan rumahgadang tersebut secara bertahap. Peletakan batu pertama dilaksanakan tanggal 12 Juli 1987, oleh mantan Gubernur Sumbar, Ir.H Azwar Anas. Sedangkan peresmian penggunaan RumahGadang dilaksanakan tanggal 30 Juli 2017 oleh Oesman Sapta, yang waktu itu Ketua DPD RI yang juga Ketua Umum Gerakan Ekonomi dan Budaya Minangkabau (Gebu Minang).
Keunikan yang kedua, menurut Yousri, rumahgadang di Surabaya ini merupakan paduan antara budaya Minangkabau dengan Majapahit. Bangunan dan gerbang utama memang khas Minang. Namun gerbang barat dan timur di komplek rumahgadang ini bermotif Candi Penataran, khas Majapahit. Hal ini bermakna pembauran antara budaya Minangkabau dengan Majapahit. Sesuai dengan falsafah orang Minang : Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung.
Kini rumahgadang di Surabaya itu sudah berkembang menjadi salah satu destinasi wisata budaya nusantara di kota Surabaya. Hampir tiap hari rumah adat Minangkabau itu ramai oleh pengunjung maupun kegiatan, baik acara resepsi perkawinan, gelar budaya maupun kegiatan pameran dan bazaar. Masjid yang terletak di dalam komplek juga selalu ramai oleh jamaah. Selain digunakan untuk shalat jamaah lima waktu, juga untuk shalat Jumat, tarawih dan shalat Iedul Fitri maupun Iedul Adha.
Setiap pagi, halaman rumahgadang yang luas itu difungsikan sebagai arena olahraga senam oleh grup senam DIS (Dahlan Iskan Style). Kegiatan senam ini banyak diikuti oleh warga sekitar. Sekali-sekali bolehlah ikut senam kebugaran, sambil merasakan alam Minangkabau di bumi Surabaya. (sas)