Surabaya (prapanca.id) – Setiap orang harus bekerja jika ingin hidup. Dan manakala membincangkan pekerjaan, berarti memasuki wacana rutinitas atas perintah sang bos — jika seseorang bekerja pada institusi. Dan jika seseorang itu bergerak di sektor wirausaha, mau gak mau harus menuruti perintah pasar atau konsumen.
Jika rutinitas berlangsung terus menerus tanpa jeda, akan memasuki jebakan “buntu jiwa”. Maka untuk menghindari itu, seseorang butuh kelonggaran. Dan kelonggaran bisa diupayakan pada jadwal-jadwal tertentu dan –ini yang penting– bagaimana berusaha memasuki wektu suwung dengan bertasbih, berucap syukur, memuji atas keagunganNYA.
Dalam terminologi kekinian, suasana sebagaimana disinggung pada alinea ke-2 tinjauan ini, biasa disebut dengan : kontemplasi. Tidak setiap penyair paham tentang hal itu.
Namun, sebagai penyair, M. Rohanudin menyadari suasana tersebut. Jika puisi-puisi panjangnya pada buku kumpulan puisi Bicaralah yang Baik-Baik cenderung naratif realistis, maka puisi-puisi pendeknya pada buku kumpulan itu jatuh pada suasana kontemplatif, sarat permenungan : naratif bening.
Mari kita renungkan puisi berjudul ‘Bertasbih’ pada halaman 32 buku kumpulan puisi itu.
BERTASBIH
bila waktunya sampai,
begitu dalam
bukan sekadar milikku
melainkan kesempurnaan yang diciptakan hingga begitu lekat
ketulusan putih,
putih cemerlang
itulah derajat paling tinggi
dan bertahta di atas keningku
Puisi ini deskripsi pengakuan akan kesempurnaan dan kesucian Sang Khaliq : Allah SWT. Disini Rohanudin menggunakan bahasa jiwa yang sublim, kristalisasi dari simbol-simbol keagunganNYA.
Hal ini ditegasi penyair kelahiran Sumenep, Madura, ini dalam baris-baris :
kesempurnaan yang diciptakan hingga begitu lekat
ketulusan putih,
putih cemerlang
Ya, tanzih yang tulus dari penyair tawadu’ ini atas kesempurnaanNYA : putih cemerlang. Implementasi rasa syukur dan pengabdian M. Rohanudin atas nikmat yang diberikan Sang Pemilik Hidup. ***